Cinta dan Perkawinan
·
Memilih Pasangan, bagaimana ?
Dalam menjalani sebuah pernikahan awalnya kita harus menemukan calon
pasangan kita terlebih dahulu yang layak menjadi pasangan hidup kita. Karena pernikahan
adalah suatu hubungan yang serius dan selamanya bukan permainan. Dalam islam
pernikahan itu suatu sunnah rasul yang wajib dijalani oleh umatnya. Setelah kita
mengetahui tentang tujuan menikah maka Islam juga mengajarkan kepada umatnya
untuk berhati-hati dalam memilih pasangan hidup karena hidup berumah tangga
tidak hanya untuk satu atau dua tahun saja, akan tetapi diniatkan untuk
selama-lamanya sampai akhir hayat kita.
Muslim atau
Muslimah dalam memilih calon istri atau suami tidaklah mudah tetapi membutuhkan
waktu. Karena kriteria memilih harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang
hendak menikah, hendaklah memilih pendamping hidupnya dengan cermat, hal ini
dikarenakan apabila seorang Muslim atau Muslimah sudah menjatuhkan pilihan
kepada pasangannya yang berarti akan menjadi bagian dalam hidupnya. Wanita yang
akan menjadi istri atau ratu dalam rumah tangga dan menjadi ibu atau pendidik
bagi anak-anaknya demikian pula pria menjadi suami atau pemimpin rumah
tangganya dan bertanggung jawab dalam menghidupi (memberi nafkah) bagi anak
istrinya. Maka dari itu, janganlah sampai menyesal terhadap pasangan hidup
pilihan kita setelah berumah tangga kelak.
·
Hubungan dalam
perkawinan
Menurut pendapat Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis
dan juga marriage and relationship educator and coach, dia
mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga
sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak
terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti.
Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki
waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya. Namun anda dan pasangan
dapat saling merasakannya.
Tahap pertama : Romantic Love. Saat ini adalah saat Anda dan pasangan
merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu
pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan
bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap kedua : Dissapointment or Distress. Masih menurut Dawn, di
tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah
dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya.
Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk
mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang
lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai
dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa
pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan
dengan pasangannya. Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan
pasangannya.
Tahap ketiga : Knowledge and Awareness. Dawn mengungkapkan bahwa
pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana
posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk menggali informasi
tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga,
pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat
kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti
seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Tahap keempat : Transformation. Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah
laku yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk
menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah
berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam
mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling
menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan
perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap kelima : Real Love. “Anda berdua akan kembali dipenuhi dengan
keceriaan, kemesraan, keintiman, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan pasangan,”
ujar Dawn. Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki
oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian
satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya
sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan
pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love
tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat
Dawn.
Lebih lanjut
Dawn menyarankan pula, “Jangan hancurkan hubungan pernikahan Anda dan pasangan
hanya karena merasa tak sesuai atau sulit memahami pasangan. Anda hanya perlu
sabar menjalani dan mengulang tahap perkembangan dalam pernikahan ini.
Jadikanlah kelanggengan pernikahan Anda berdua sebagai suatu hadiah berharga
bagi diri sendiri, pasangan, dan juga anak.
Ketika
pasangan (suami/istri) kedapatan beberapa kali bersikap kurang baik, anggap lah
ini sebuah ladang amal sabar. Dan jangan sekali-kali berfikir bahwa hasil dari
istikharah ternyata gagal ketika suatu hari merasa sedikit kesal mendapati
kelakukan pasangan Anda sikapnya kurang baik, harusnya tetap lah berfikir bahwa
dia memang pilihan terbaik yang Allah pilihkan.
Ketika
keadaannya seperti itu tadi, yang menjadi tantangan untuk Anda lakukan adalah
menunjukan sikap yang lebih baik dari dia, agar Anda menjadi contoh kebaikan
untuknya, karena tidak selesai hanya berharap saja dia harus lebih baik dari
Anda, tetapi kita harus melakukan sesuatu untuk menjadi jalan perubahan
untuknya. Karena bisa jadi begini, sekarang memang pasangan Anda belum baik,
tapi yakin lah bahwa suatu saat dia akan lebih baik dari Anda, kontribusi
motivasi dari Anda diperlukan juga untuknya.
Terjadinya
sebuah Ikatan tali pernikahan, tidak berarti semuanya menjadi serba cocok,
serba lancar dan jauh dari Masalah. Tidaklah begitu adanya, ada baiknya kita
perlu berfikir begini: "dia bukan aku dan aku bukan dia, aku
adalah aku begitu pun dia! tapi aku adalah bagian dari dia dan dia bagian dari
aku. Karena aku Mencintainya, jadi aku harus bisa memakluminya dan berusaha
untuk terus bersikap baik, lebih baik darinya hingga sikapku bisa menjadi
contoh kebaikan untuknya."
·
Penyesuaian dan
pertumbuhan dalam perkawinan
Perkawinan
tidak berarti mengikat pasangan sepenuhnya. Dua individu ini harus dapat
mengembangkan diri untuk kemajuan bersama. Keberhasilan dalam perkawinan tidak
diukur dari ketergantungan pasangan. Perkawinan merupakan salah satu tahapan
dalam hidup yang pasti diwarnai oleh perubahan. Dan perubahan yang terjadi
dalam sebuah perkawinan, sering tak sederhana. Perubahan yang terjadi dalam
perkawinan banyak terkait dengan terbentuknya relasi baru sebagai satu kesatuan
serta terbentuknya hubungan antarkeluarga kedua pihak.
Relasi yang diharapkan dalam sebuah
perkawinan tentu saja relasi yang erat dan hangat. Tapi karena adanya perbedaan
kebiasaan atau persepsi antara suami-istri, selalu ada hal-hal yang dapat
menimbulkan konflik. Dalam kondisi perkawinan seperti ini, tentu sulit
mendapatkan sebuah keluarga yang harmonis.
Pada dasarnya, diperlukan penyesuaian
diri dalam sebuah perkawinan, yang mencakup perubahan diri sendiri dan
perubahan lingkungan. Bila hanya mengharap pihak pasangan yang berubah, berarti
kita belum melakukan penyesuaian.
Banyak yang bilang pertengkaran adalah
bumbu dalam sebuah hubungan. Bahkan bisa menguatkan ikatan cinta. Hanya, tak
semua pasangan mampu mengelola dengan baik sehingga kemarahan akan terakumulasi
dan berpotensi merusak hubungan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang
memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai
suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan, kehidupan
keluarga, dan saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan dan harapan.
·
Perceraian dan pernikahan kembali
Pernikahan bukanlah akhir kisah indah, namun
dalam perjalanannya, pernikahan justru banyak menemui masalah. Menikah Kembali
setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil.
Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam
perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah
yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin
pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat
mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Apa yang akan mempengaruhi peluang untuk menikah setelah bercerai? Ada
banyak faktor. Misalnya seorang wanita muda pun bisa memiliki kesempatan kurang
dari menikah lagi jika dia memiliki beberapa anak. Ada banyak faktor seperti
faktor pendidikan, pendapatan dan sosial.
Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan
yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki
dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Misalnya, Anda mencintai pria yang sekarang menjadi pasangan karena
kegantengan, kelembutan dan tanggung jawabnya. Lama-kelamaan, semua itu berubah
menjadi sesuatu yang biasa. Itu adalah kodrat manusia. Sesuatu yang baru
cenderung mempunyai daya tarik yang lebih kuat dan kalau sudah terbiasa daya
tarik itu akan mulai menghilang pula. Ada kalanya, hal-hal yang sama, yang
terus-menerus kita lakukan akan membuat jenuh dalam pernikahan.
Esensi dalam pernikahan adalah menyatukan dua manusia yang berbeda latar
belakang. Untuk itu kesamaan pandangan dalam kehidupan lebih penting untuk
diusahakan bersama.
Jika ingin sukses dalam pernikahan baru, perlu menyadari tentang beberapa
hal tertentu, jangan biarkan kegagalan masa lalu mengecilkan hati. Menikah
Kembali setelah perceraian bisa menjadi pengalaman menarik. tinggalkan masa
lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik.
· ·
Alternative selain
Pernikahan ?
Pernikahan
Dini Sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat,
sebagai sebuah solusi alternatif setidaknya menurut penawaran Prof. Dr. Sarlito
Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau
Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali,
ketika seks pra nikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum
muda yang masih duduk di bangku sekolah.
Tapi sederet pertanyaan dan
kekhawatiran pun muncul. Nikah di usia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan
materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu sekolah? Dan
masih banyak sederet pertanyaan lainnya.
Dari sisi psikologis, memang
wajar kalau banyak yang merasa khawatir : bahwa pernikahan di usia muda akan
menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena
kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal
ini terbaca jelas dalam senetron Pernikahan Dini yang pernah ditayangkan di
salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan
lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang
sakinah, seperti yang diilustrasikan oleh senetron tersebut.
Pernikahan Dini dalam
Perspektif Psikologi
Sebetulnya, kekhawatiran dan
kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan
logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya Indahnya Pernikahan
Dini, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya Children Development
Through : bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan
sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan
ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa
menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja
yang kian tak terkendali.
Di kedua buku itu (dan juga di
sekitar kita) ada banyak bukti empiris—dan tidak perlu dipaparkan di
sini—bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justeru bisa
menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti
tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu,
menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini
juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih
mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya
Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi
humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih
mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna
dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang
sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan
mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan
psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai
puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan (ibid).
Bagaimana dengan hasil
penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian meningkat
signifikan karena pernikahan dini ? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini
yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang
disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih
karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang
kuat.
Adapun urgensi pernikahan
terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa dibantah. So,
dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari
sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator
untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.
“Pernikahan yang sukses adalah seperti tenunan dalam
beludru kehidupan praktis. Seperti nada harmoni yang dipetik hubungan
realistis. Dan pernikahan yang sukses adalah hasil gabungan cinta,
penghormatan, kesetiaan, dan sikap saling mendukung”.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar